Saturday, November 25, 2006

Friday, November 03, 2006

Gagasan Di Balik Bentuk KUBANGAN


Pentas Teater:

K U B A N G A N
Ide Karya/Sutradara: Bambang Prihadi

Pada 11-12 JANUARI 2007
Di BENTARA BUDAYA JAKARTA



Kesimpulan sementara pesan dari gagasan dibalik penelusuran bentuk-bentuk dan bahasa ucap adalah ketidakberdayaan orang orang dalam kubangan untuk menghadapi dan menyikapi semua persoalan yang datang begitu massif dan simultan. Perkembangan budaya yang serba aritifisial dan dampak-dampak sosialnya seperti banjir bandang yang membuat mereka hanya pasif dan terperangah. Mereka berhenti pada sikap bahwa itu adalah sampah, adalah peristiwa dan bentuk/produk itu sendiri. Artinya semua kejadian, semua pemikiran, semua produk import, gaya, trend, gossip,isu dll hanya berhenti pada bentuk dan tak mampu menyerap apa di baliknya. Selanjutnya mereka tak kuasa memaknai; menjadikannya pelajaran, pengalaman, ”teman dialog”, apalagi memiliki kemampuan untuk menyikapinya secara kreatif dan inovatif atau mendaur ulang menjadi miliknya dan dirinya sendiri.

1. Tubuh bergetar dalam ruang personal
Saat pikiran orang dipenjara oleh ingatan dan kenangan masalalu yang traumatik, maka kebiasaan yang dilakukannya adalah menyendiri. Menikmati kesakitan dan penderitaan dari lintasan-lintasan ingatan yang mengaduk-aduk emosi perasaan. Adapun tubuh yang secara konstan bergetar menunjukan sebuah pemberontakan atas keadaan diri dan sekitar. Sekaligus respon dari problem kekinian yang massif berdatangan dan tak mampu diserap melalui pori-porinya.Mereka sangat Individualis, egois dan narsis sekaligus defensif.

2. Tubuh bergetar dalam ruang publik
Saat tubuh (badan) melakukan pemberontakan atas keadaan pikiran dan berbenturan dengan realitas sosial, maka perasaan-perasaan terdistorsi. Dari pikiran yang (hanya mampu) menerima potongan-potongan informasi (gossip,issu) dan tak mampu membuka ruang analisa (perenungan), maka perasaan terdistorsi melalui kesimpulan-kesimpulan prematur yang dibuatnya. Yang muncul ke permukaan (ruang publik) adalah obrolan-obrolan sentimentil, reaktif yang penuh klaim-klaim, gosip, pamflet dan iklan.

3. Gerak laku cepat dalam kehampaan jiwa
Percepatan yang terjadi melalui revolusi teknologi mempengaruhi pikiran untuk memacu tubuhnya dalam merespon setiap perkembangan di semua aspek kehidupan.Badan menjadi alat untuk merepresentasi keinginan-keinginan pikiran, sekaligus sebagai objek setia untuk mewujudkan cita-cita modern. Maka badan dipaksa bereaksi dengan cepat atas kehendak pikiran. Kuantitas menjadi sasaran utama.Adapun kualitas yang berhubungan dengan jiwa dinafikan. Tubuh adalah budak pikiran, khayalan, sistem, dan dogma.

4. Gerak laku fashion dalam laku keseharian
Kubangan sama dengan zaman pencitraan. Secara ekstrem tafsir berbalik bahwa produk-produk impor trendi yang bermunculan di Indonesia (kota-kota besar) tidak dibarengi dengan proses pencarian sungguh. Maka, orang-orang menjadi latah mengikuti dan meniru segala produk tersebut. Padahal laku keseharian mereka masih menunjukan kenaifan cara berpikir dan kementahan mental alias tidak sesuai. Tak aneh bila soal-soal reranting (remeh temeh) masih jadi menu utama obrolan. Hal itu tentu menjadi kontradiktif antara realitas laku depan publik (gaya,pamer,jaim) dengan realitas laku keseharian (lugu, polos, naif, penuh keluh kesah, histeris dll) bila ditampakan secara bersamaan dalam satu waktu.

5. Manusia multi aktivitas dalam satu ruang dan waktu
Akibat dari segala percepatan yang terjadi, membuat waktu semakin terasa pendek. Persoalan yang mendera bertubi-tubi tidak saja mengharuskan orang untuk selalu bersiaga.Tetapi lebih dari itu, mengharuskan mereka untuk mengerjakan banyak hal (meski) di luar kemampuannya. Kacau dan tidak tuntas? sangat mungkin terjadi. Stress? Pasti, karena gizi (pemasukan) yang didapat tak sebanding dengan beban yang mesti diselesaikan. Keniscayaan orang agar khusuk dalam menjalani satu cita-cita, pekerjaan, penelitian, dan membenahi satu demi satu persoalan, menjadi hambar. Profesionalisme di negri ini menjadi omong kosong dan alien. Tumpang tindih pekerjaan tak mampu diinventaris dan diselesaikan satu persatu. Situasi sesak yang penuh dengan kompetisi membuat pekerjaan harus diselesaikan segera dan bersamaan.

6. Mimesis hewan
Saat perut jadi orientasi utama dalam hidup manusia di dunia, yang terjadi adalah kekaburan definisi antara manusia dan hewan. Bentuk kritik verbal terhadap sosok manusia saat ini membutuhkan kemasan peristiwa yang jenaka dan ringan. Peristiwa itu akan mengisi setiap transisi antara adegan untuk menguatkan pesan dari keadaan sesungguhnya (yang dialami oleh) manusia. Mereka cuma punya nafsu, naluri, emosi dan kenikmatan badani.

7. Suara tragika etnik dan Tubuh Layang-Layang
Pilihan pada bentuk ini berangkat dari gagasan bahwa manusia mengalami keterbelahan kepribadian dan kekaburan identitas leluhur. Sebagai manusia romantik, mereka tak sanggup memiliki kembali harmoni masa lalunya. Muncul kemudian suara-suara yang syarat dengan tragedi bernuansa etnik. Mereka seperti berada di perbatasan antara masa lalu yang mereka idamkan (meski merasakan sisa-sisa) dan masa kini yang tak mampu mereka rumuskan.

8. Refleksi dan Usaha Membangun Harapan (yang ilusif)
Khusus pada gagasan ini, pilihan bentuk masih terbuka, meski sudah ada beberapa pilihan di pementasan embrio kubangan, seperti; pijat refleksi, dua orang di sisi cahaya, dan adegan seseorang(Sir) mengajak orang-orang untuk hijrah ke perut bumi. Namun inti dari gagasan itu adalah betapapun kekacauan situasi yang semakin absurd dan anarki terus terjadi, usaha besar manusia untuk terus membangun harapan adalah jawaban. Mengajak semua orang untuk masuk ke dalam tanah (perut bumi) menjadi tawaran simbolik yang memiliki 3 penafsiran; secara radikal semua pelaku dan korban kerusakan saat ini (generasi kubangan, saya lebih suka sebut) harus menguburkan dirinya ke dalam tanah. Biarlah harapan terwujud untuk masa depan. Seperti kubangan yang dikeringkan, dan suatu ketika menjadi humus dan pupuk yang menyuburkan tanah untuk anak cucu. Kedua, bermakna ajakan kontemplasi, mengosongkan diri sebelum kembali bekerja. Ketiga, bermakna mundur untuk menang; Sebuah pengakuan jantan bahwa kita sudah tak sanggup bersihadap dan berdialog dengan kebudayaan luar (umumnya produk budaya yang datang dari barat) alias tetap terjadi penjajahan. Dan kita mesti menyetop dengan cara “berpuasa” untuk membangun kembali kebudayaan dan peradaban natural (seimbang,harmoni) atau yang sesuai dengan bangsa ini. Kita bekerja lebih keras menggali apa yang kita punya di dalam diri dan tanah kita sendiri. Mengeksplorasi kedalaman sesungguhnya yang kita punya dengan penuh ketulusan dan keberanian.

Sekilas Profil Lab Teater Syahid


Laboratorium Tetaer Syahid merupakan pusat kajian, penelitian, dan eksperimen-ekperimen kreatif dalam proses penciptaan karya-karya teater. LAB Teater Syahid berdiri sebagai kelanjutan dari komunitas Teater Syahid UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berhasil eksis selama hamper 2 (dua) dekade. Pada awal tahun 2003, beberapa eksponennya melakukan terobosan dengan mengambil inisiatif menyelenggarakan pusat kajian, penelitian teater yang independent-inklusif, sehingga memungkinkan terlibat dalam arus-arus penciptaan baru dari ragam tradisi.